Tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Pikiran itu diucapkan dalam salah satu prolog dari hukum rakyat "Franka Salis", lex Salica (+/- 500 th SM). Perdamaian antar manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, kehormatan, kemerdekaan jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya.
Kepentingan dari perseorangan dan kepentingan-kepentingan kellompok selalu bertentangan satu sama lain dan itu menyebabkan perselisihan. Hukum hanya dapat mencapai tujuannya jika hukum menuju peraturan yang adil, artinya peraturan yang mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, yang mana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Keadilan tidak boleh dipandang sama atau menyamaratakan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Aristoteles mengenalkan 2 macam keadilan, yaitu keadilan distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributief adalah keadilan yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menurut jasanya. Ia tidak menuntut supaya tiap orang mendapat jatah yang sama banyaknya, bukan persamaan melainkan kesebandingan. Keadilan commutatief adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan.
Terdapat teori yang mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan. Isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran ethis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Hukum menetapkan peraturan-peraturan umum yang menjadi petunjuk untuk orang-orang dalam pergaulan hidup. Jika hukum semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tidak dapat membentuk peraturan-peraturan umum. Tidak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan dan ini menyebabkan keadaan yang tidak teratur dan bukan keadaan yang teratur.
Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan: keadilan menuntut supaya tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri: suum cuiqe tribuere.
Dalam hukum terdapat bentrokan antara tuntutan-tuntutan keadilan dan tuntutan-tuntutan kepastian hukum. MAkin banyak huum memenuhi syarat "peraturan yang tetap", yang sebanyak mungkin meniadakan ketidapastia, jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itula ari summum ius, summa iniuria.
Tidak sempurnanya hukum, dalam prakteknya dapat dikurangi oleh hakim dengan mempergunakan tafsiran bebas untuk menghilangkan atau mengurangkan ketidakadilan. Akan tetapi ini dapat mengurangi kepastian hukum dan tak selamnya dapat dilakukan.
Jadi hukum terpaksa harus mengorbankan keadilan sekedarnya untuk kepentingan daya guna : ia terpaksa mempunyai sifat kompromi. Bahkan terdapat sejumlah besar peraturan-peraturan hukum yang sama sekali tidak mewujudkan keadilan, melaunkan hanya dudasrkan pada kepentingan daya guna, misalnya mengenai bukti dan daluwarsa.
Sumber hukum Fries dari Abad Menengah (von Richthoven, Friesische Rechtsquellen, memberikan jawaban apa itu hukum, yaitu memerintahkan apa yang patut, menyuruh apa yang baik, melarang apa yang tidak adil, membolehkan apa yang adil dan kadang-kadang juga apa yang tidak adil, karena takut akan hal-hal yang lebih buruk.
Jadi tujuan hukum tidak lain daripada mewujudkan keadilan, berat sebelah dan bertentagan dengan keadaan sebenarnya, bahwa hukum semata-mata menghendaki hal-hal yang sesuai dengan daya guna (teori-teori utilitas). Jadi, tujuan hukum adalah tata tertib masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti menyamaratakan dengan kekuasaan.
Sumber: Prof.Mr.Dr.L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum
No comments:
Post a Comment