Monday, November 9, 2015

SURAT EDARAN KAPOLRI TENTANG HATE SPEECH

Pada tanggal 8 Oktober 2015, Polri menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (SE Hate Speech). Dalam SE Hate Speech ini terdapat empat poin yang mengatur antara lain lingkup perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai hate speech dan tindak pidana yang berkaitan. 

Bentuk 
Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: 1. Penghinaan, 
2. Pencemaran nama baik, 
3. Penistaan, 
4. Perbuatan tidak menyenangkan, 
5. Memprovokasi, 
6. Menghasut, 
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”. 

Aspek 
Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek: 
1. Suku, 
2. Agama, 
3. Aliran keagamaan, 
4. Keyakinan atau kepercayaan, 
5. Ras, 
6. Antargolongan, 
7. Warna kulit, 
8. Etnis, 
9. Gender, 
10. Kaum difabel, 
11. Orientasi seksual. 

Media 
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain: 
1. Dalam orasi kegiatan kampanye, 
2. Spanduk atau banner, 
3. Jejaring media sosial, 
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), 
5. Ceramah keagamaan, 
6. Media massa cetak atau elektronik, 
7. Pamflet. 
 Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”. 

Prosedur Penanganan 
Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.
 Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.
 Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
 Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
 Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
 Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain: 
- Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat, 
- Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian, 
- Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian, 
- Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;
 Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan: 
- KUHP, 
- UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, 
- UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, 
- UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan 
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial. 

Ketentuan perundang-undangan yang dijadikan rujukan penegakan hukum yang disebut dalam SE Hate Speech tersebut yaitu Pasal 156-157 KUHP, dan Pasal 310-311 KUHP; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2); UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis: Pasal 16. 

Pasal 156 KUHP menyatakan bahwa, "Barang siapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda.....,". Sedangkan Pasal 157 KUHP menyatakan bahwa, "Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara.....".

 Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP menjelaskan mengenai pencamaran nama baik, dimana dalam siaran pers, LBH Pers menilai SE Hate Speech telah menyempitkan Pasal 311 KUHP menjadi salah satu pasal hate speech. Menurut LBH Pers, Pasal 311 KUHP seringkali diterapkan kepada siapapun yang melakukan haknya untuk bebas berekspresi dan berpendapat. 

Pasal 28 jis Pasal 45 ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik dan Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000 (satu miliar rupiah)". 

Pasal 16 UU 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatkan bahwa, "Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)". 

Ditegaskan LBH Pers, penanganan kasus Pasal 156 dan Pasal 157 KUHP dengan Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP tidak bisa disamakan dengan kasus hate speech karena berbeda objek dengan pencemaran nama baik. Konstruksi hukum ujaran kebencian dengan pencemaran nama baik jelas berbeda. LBH Pers khawatir penerapan SE Hate Speech dapat berujung pada pemberangusan kebebasan berpendapat. LBH Pers mengimbau Kepolisian lebih hati-hati menentukan mana hate speech dan bentuk hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Dalam media sosial, aturan ini juga menimbulkan kontroversi. Seperti diungkapkan oleh Enda Nasution, pengamat media sosial, bahwa pengguna media sosial di Indonesia perlu dibekali dengan segudang informasi dan edukasi literasi tentang ujaran kebencian itu. Ia menyambung, "di ranah media sosial, hate speech masih berada di batasan sulit sebab banyak netizen yang berpikiran bahwa sifatnya bebas untuk mengeluarkan opini, kritik, hingga nyinyir terhadap sesuatu." Enda juga memberi sedikit masukan, bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) perlu turun tangan dalam masalah ujaran kebencian ini.

Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan mengatakan penerbitan SE Hate Speech bukan bertujuan untuk membungkam kebebasan berpendapat. SE ini, lanjut Anton, dilatarbelakangi oleh beberapa kasus di Tanah Air beberapa waktu lalu yang terjadi karena ujaran kebencian berbau SARA yang dihembuskan pihak yang menginginkan perpecahan. Adanya SE Hate Speech, kata dia, hanya mengingatkan semua pihak agar berbicara, mengeluarkan pendapat di muka umum atau di dunia maya dan berorasi dengan lebih hati-hati. "Mulutmu harimaumu. Jangan sembarangan berbicara. Sebagai bangsa yang santun, cerminkan budaya kata dan bahasa yang baik," ujarnya.



Sumber: Diolah dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment